Oleh : Faisal Umar,

DUMAI – JEJAK DIGITAL – Kejaksaan Agung baru saja mengungkap kasus besar yang mengguncang sektor energi nasional, pengoplosan BBM subsidi jenis Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) yang dilakukan oleh BUMN Pertamina. Skandal ini, yang melibatkan petinggi Pertamina seperti Yuki Firnandi, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp196,7 triliun dalam rentang waktu 2018 hingga 2022. Fakta ini menunjukkan bahwa bukan hanya oknum swasta yang bermain dalam mafia BBM, tetapi justru perusahaan milik negara sendiri yang terlibat dalam praktik ilegal ini.
Pengoplosan BBM dilakukan dengan cara mencampur bahan kimia tertentu agar Pertalite yang lebih murah dapat dijual dengan harga Pertamax yang lebih mahal. Dengan selisih harga yang signifikan, keuntungan ilegal yang didapat sangat besar, sementara negara mengalami kebocoran anggaran subsidi dalam jumlah fantastis.
Lebih parah lagi, praktik ini terjadi di dalam tubuh Pertamina sendiri, sebuah BUMN yang seharusnya bertanggung jawab atas ketahanan energi nasional. Alih-alih menjalankan amanah untuk menyediakan BBM dengan harga terjangkau bagi masyarakat, justru ada pejabat internal yang memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Kerugian negara yang mencapai Rp196,7 triliun bukan hanya sekadar angka, tetapi memiliki dampak luas terhadap ekonomi nasional. Dana subsidi yang seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat malah bocor ke tangan mafia energi. Selain itu, pengoplosan BBM juga berisiko merusak kualitas bahan bakar, yang dapat berdampak buruk pada mesin kendaraan masyarakat.
Lebih dari itu, skandal ini merusak kepercayaan publik terhadap BUMN. Pertamina, sebagai perusahaan negara yang memonopoli distribusi BBM, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga transparansi dan integritas. Namun, dengan adanya keterlibatan petinggi perusahaan dalam skandal ini, masyarakat semakin skeptis terhadap pengelolaan sektor energi di Indonesia.
Kasus ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk mengevaluasi tata kelola energi, terutama di BUMN seperti Pertamina. Jika pejabat tinggi di perusahaan negara bisa dengan mudah bermain dalam mafia BBM, maka sistem pengawasan yang ada jelas tidak berjalan efektif.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak tegas, tidak hanya menghukum individu yang terlibat tetapi juga memperbaiki sistem agar praktik serupa tidak terulang. Penerapan teknologi digital dalam pengawasan distribusi BBM, seperti pemantauan real-time dengan IoT atau pencatatan berbasis blockchain, dapat menjadi solusi untuk mencegah kecurangan di masa depan.
Pengungkapan kasus ini adalah langkah awal, tetapi penyelesaiannya tidak boleh setengah-setengah. Kejaksaan Agung harus mengusut tuntas semua pihak yang terlibat, termasuk para petinggi Pertamina yang bermain dalam skandal ini. Hukuman yang berat harus diberikan agar menjadi efek jera, dan pemerintah harus memastikan bahwa reformasi sektor energi benar-benar dijalankan.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka bukan hanya keuangan negara yang terus terkuras, tetapi rakyatlah yang akan terus menjadi korban ketidakadilan dalam distribusi energi nasional. Saatnya negara menunjukkan ketegasannya : mafia BBM harus dibongkar sampai ke akar-akarnya!.(fu)